Islam adalah agama yang sempurna sehingga berlaku aturan yang sangat rigid, yang harus ditaati oleh seluruh umatnya. Kita mengenal aturan itu sebagai hukum Islam dan menjadi pedoman bagi umat Islam dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari.
Dalam hukum Islam terdapat ketentuan yang bersumber pada Al-Qur’an, As-Sunnah, jumhur ulama, dan qiyas. Ketentuan hukum Islam tersebut, antara lain wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram.
Lantas mengapa hukum Islam itu perlu dan apa tujuannya bagi umat Islam?
Tujuan pertama dari hukum Islam adalah tercapainya kemaslahatan umat manusia. Hukum Islam lahir sebagai jawaban atas berbagai persoalan hidup yang dialami umat manusia di seluruh dunia.
Hukum Islam juga tidak hanya menjadi solusi bagi permasalahan yang menyangkut keyakinan, namun juga mengatasi masalah-masalah sosial di sekitar kita. Dengan kata lain, bisa menjawab tantangan yang bersifat hablum minallah dan hablum minannas.
Tujuan kedua adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat melalui beberapa unsur pokok, seperti agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Artikel ini akan menjabarkan secara jelas tentang arti wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram dalam islam. Bagi umat Islam, memahami hukum Islam adalah wajib agar segala amal dan perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Wajib
Photo by Masjid Pogung Dalangan on Unsplash
Ditinjau dari segi bahasa, wajib juga dimaknai sebagai saqith, yang berarti jatuh, gugur, atau juga berarti lazim atau tetap.
Wajib adalah satu perkara yang secara syariat harus dikerjakan oleh seluruh orang beriman. Dengan kata lain, jika dikerjakan mendapat pahala. Sebaliknya, jika ditinggalkan akan mendapat dosa.
Setiap pribadi muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh, harus menjalankan hukum Islam yang sifatnya wajib ini.
Wajib juga dikenal dengan istilah fardhu. Terdapat dua hukum fardhu yang berlaku bagi orang beriman, yakni fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Fardhu ‘ain adalah kewajiban yang berlaku untuk seluruh umat muslim, seperti shalat lima waktu, puasa, dll. Sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban yang cukup dilakukan oleh satu orang muslim.
Kewajiban menjadi gugur jika sudah dilakukan, sebaliknya berdosalah semua orang apabila ditinggalkan. Contoh fardhu kifayah seperti mensholati orang meninggalkan, memandikan hingga menguburkannya.
Selain fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, hukum wajib juga dibagi menjadi 4 berdasarkan waktu pelaksanaannya, orang yang melaksanakannya, kadar pelaksanaannya, serta kandungan perintahnya.
1. Wajib Berdasarkan Waktu Pelaksanaannya
- Wajib Muthlaq. Untuk melaksanakan kewajiban ini, seorang muslim tidak ditentukan kapan pelaksanaannya. Anda bebas melaksanakan kewajiban ini kapan saja, kecuali waktu yang dilarang untuk berpuasa. Misalnya, melaksanakan qadha puasa ramadhan yang ditinggalkan karena berhalangan secara syar’i. Kewajiban lain yang tidak ditentukan adalah membayar kafarah
- Wajib Muaqqad. Anda tidak bisa sembarangan waktu menjalankan kewajiban muaqqad karena waktu pelaksanaannya sudah ditentukan. Tidak sah jika Anda melaksanakan kewajiban muaqqad di luar waktu yang telah ditentukan.
- Wajib Muwassa. Dalam menunaikan kewajiban ini, waktu yang tersedia bisa melebihi waktu pelaksanaannya.
- Wajib Mudayyaq. Seperti puasa di bulan ramadhan, kewajiban ini dilaksanakan sama persis dengan waktu yang tersedia.
- Wajib Dzu Syabhaini. Dalam melaksanakan kewajiban ini, Anda seperti menggabungkan kewajiban muwassa dengan kewajiban mudayyaq. Contoh dari kewajiban ini adalah seperti melaksanakan ibadah haji.
2. Wajib Berdasarkan Orang yang Melaksanakannya
- Wajib Aini. Setiap orang beriman punya kewajiban untuk melaksanakan setiap perintah Allah SWT. Itu yang disebut wajib Aini yang hanya boleh dilakukan sendiri, tidak boleh diwakilkan. Contoh kewajiban ini seperti shalat lima waktu atau puasa ramadhan.
- Wajib Kifayah (Kafa’i). Kewajiban yang bisa gugur jika salah satu dari sekelompok orang sudah melaksanakan kewajiban itu. Kewajiban ini bisa diwakilkan. Sebaliknya, semua orang yang ada di kelompok itu akan menanggung dosa jika tak satupun orang di kelompok itu melaksanakan kewajiban kifayah. Misalnya, kewajiban mengurus jenazah, mulai memandikan hingga menguburnya.
3. Wajib Berdasarkan Kadar Pelaksanaannya
- Wajib Muhaddad. Dalam menunaikan kewajiban ini, seorang muslim sudah ditentukan ukuran atau kadar pelaksanaannya. Zakat, misalnya, ukurannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum Islam.
- Wajib Ghairu Muhaddad. Ada juga kewajiban dalam Islam yang tidak memiliki ketentuan yang pasti. Menafkahi kerabat adalah contoh wajib ghairu muhaddad yang ukurannya tidak ditentukan (sesuai kemampuan).
4. Wajib Berdasarkan Kandungan Perintahnya
- Wajib Mu’ayyan. Dalam melaksanakan kewajiban ini, ketentuannya sudah sangat jelas dan tidak ada pilihan lain. Contohnya, kewajiban shalat lima waktu atau membayar zakat fitrah.
- Wajib Mukhayyar. Sebaliknya, jika masih memberikan pilihan dari beberapa alternatif objek yang ada maka kewajiban itu disebut sebagai kewajiban yang bersifat mukhayyar.
Sunnah
Satu tingkat dibawah wajib (fardhu) adalah sunnah. Secara singkat, sunnah adalah satu perkara atau perintah yang apabila dilaksanakan mendapat pahala namun jika ditinggalkan tidak berdosa.
Hukum melaksanakan sunnah dimaknai sebagai ibadah pelengkap untuk perintah wajib. Untuk itu, secara bahasa, sunnah juga berarti mad’u atau dianjurkan.
Sedangkan dalam ilmu fiqih, seseorang melakukan ibadah sunnah karena itu dipandang sebagai perbuatan baik kemaslahatan orang lain. Karena hanya saran kebaikan, orang yang meninggalkan sunnah tidak ada beban dosa baginya.
Sebaliknya, bagi yang mengerjakan sunnah ini akan dicatat sebagai amal kebaikan untuk melengkapi amalan-amalan wajib. Jadi, meski hanya bersifat anjuran, sangat rugi bagi seorang muslim yang meninggalkan sunnah ini.
Hukum sunnah bisa dilihat dari beberapa perspektif, seperti berdasarkan tuntutan melakukannya serta berdasarkan kemungkinan untuk meninggalkan ibadah sunnah itu.
1. Sunnah Berdasarkan Tuntutan Melakukannya
- Sunnah Muakkad. Orang mengenal sunnah ini sebagai ibadah ‘setengah wajib’ karena sifatnya yang sangat dianjurkan. Sunnah muakkad juga dimaknai sebagai ibadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya. Contoh sunnah ini adalah seperti shalat tarawih atau shalat witir.
- Sunnah Ghairu Mu’akad. Tidak seperti sunnah mu’akkad, meskipun Nabi SAW melaksanakan sunnah ini, namun tidak menjadi ibadah yang dijalankan secara rutin. Dengan kata lain, Nabi SAW tidak menganjurkan umatnya untuk melaksanakan ibadah sunnah ini, seperti shalat sunnah 4 rakaat sebelum dzuhur dan sebelum ashar.
2. Sunnah Berdasarkan Kemungkinan untuk Meninggalkannya
- Sunnah Hadyu. Sunnah ini juga boleh dibilang ibadah ‘setengah wajib’ karena orang yang tidak menjalankannya dianggap tercela. Hal ini karena begitu besarnya manfaat dari sunnah hadyu, seperti shalat berjamaah di masjid/mushola, shalat ‘ied, dll.
- Sunnah Zaidah. Sunnah ini lebih bersifat ‘sukarela’, yakni amal sunnah yang baik dilakukan namun tidak ada sanksi atau dosa apapun apabila ditinggalkan. Misalnya, tidur, makan, minum, dll.
- Sunnah Nafal. Nabi Muhammad SAW menganjurkan setiap umatnya untuk mengerjakan amalan sunnah ini, karena bisa sebagai amal tambahan bagi ibadah wajib, seperti shalat tahajud, shalat dhuha, dll.
Makruh
Secara bahasa, makruh adalah perbuatan yang sangat tidak dianjurkan untuk dikerjakan. Meski tidak sampai pada derajat haram, namun para ulama sepakat, makruh sebagai perbuatan yang dibenci (mubghadh).
Makruh juga bisa diartikan sebagai bentuk larangan yang tidak bersifat pasti. Kenapa tidak pasti? Sebab, tak ada satupun dalil yang menyatakan makruh sebagai perbuatan haram.
Jadi, hukum makruh adalah satu perbuatan yang apabila dikerjakan tidak berdosa namun jika tidak dikerjakan akan mendapat pahala. Boleh dibilang, makruh adalah kebalikannya sunnah.
Jumhur ulama membagi hukum makruh ini menjadi dua bagian, antara lain:
- Makruh Tahrim. Anda tidak boleh mengerjakan sesuatu karena sudah ada larangan yang pasti secara syariat. Misalnya, jika Anda seorang laki-laki maka dilarang menggunakan perhiasan emas, memakai anting, dll.
- Makruh Tanzih. Sebaliknya, karena tidak ada contoh yang pasti secara syariat maka Anda dianjurkan untuk tidak mengerjakannya. Contoh dari makruh tanzih seperti mengkonsumsi daging kuda dalam kondisi darurat, misalnya saat perang, dll.
Banyak umat Islam yang tidak menyadari bahwa yang dikerjakannya sebagai perbuatan makruh. Padahal, jika mereka meninggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya, makan minum sambil bicara, ambil makanan dengan tangan kiri, dll.
Mubah
Mubah itu ‘nothing to lose’ atau tidak ada pahala dan dosa bagi orang yang mengerjakanya. Dengan kata lain, dikerjakan tidak mendapat pahala, begitu juga sebaliknya, ditinggalkan tidak mendapat dosa.
Mubah juga berarti keringanan yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam. Misalnya, jika Anda tidak bisa berdoa dengan bahasa Arab maka boleh berdoa dengan bahasa lain selain Arab.
Haram
Photo by Twenty20photos on Envato
Secara bahasa, haram atau muharram berarti yang dilarang. Memutuskan haram atau halal suatu perkara itu tidak mudah. Sebab, harus ada dalil qath’i yang menjadi dasar untuk memutuskan haram-halal suatu perkara.
Ada dua jenis perbuatan haram yang wajib ditinggalkan oleh seluruh kaum muslimin agar terhindar dari murka Allah SWT. Yakni, Al-Muharram li Dzatihi dan Al-Muharram li Ghairihi.
- Al-Muharram li Dzatihi. Anda wajib meninggalkan perbuatan yang secara syariat kategorikan sebagai hukum haram ini karena karena esensinya bisa mendatangkan mudharat yang besar bagi kehidupan manusia, seperti berzina, mabuk, berjudi, dll.
- Al-Muharram li Ghairihi. Sebaliknya, hukum haram Al-Muharram li Ghairihi berlaku bukan karena esensinya. Larangan ini lebih kepada hal-hal yang bersifat eksternal, seperti praktik riba, dll.
Apapun jenisnya, suatu perkara yang dinyatakan haram secara syariat harus ditinggalkan. Anda meninggalkan perbuatan haram berarti akan mendapatkan pahala. Sebaliknya jika Anda kerjakan akan mendapat siksa Allah SWT di akhirat kelak.
Kesimpulan
Islam juga hadir sebagai agama penyempurna, yakni menyempurnakan risalah-risalah atau ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Hukum Islam, sebagaimana dibahas di atas, memberikan tuntunan kepada umat muslim, agar selamat di dunia dan akhirat.
Peran sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan mampu mencetak generasi rabbani yang mampu memahami hukum Islam dengan baik. Misalnya, mereka bisa membedakan suatu perbuatan itu dikategorikan sebagai ibadah wajib atau sunnah. Atau sebaliknya, mereka mampu menghindari perbuatan haram yang mendatangkan dosa.
Untuk menciptakan generasi Islam yang tangguh, pastinya perlu sekolah yang mampu memberikan suri tauladan yang baik. Sekolah tidak hanya mengajarkan teori namun juga praktek.
Kami, di Prestasi Global menerapkan cara-cara ini untuk membantu murid memahami dan mencintai agama islam dengan lebih baik.
Memahami hukum Islam adalah cara kami untuk memperkenalkan Islam kepada mereka sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Kelak, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang cinta agama Islam, yang dibuktikan dengan selalu taat kepada perintahNya dan menjauhi larangan-Nya.
Baca Juga : Mengasah Pola Pikir Anak Melalui Permainan Lego
Ada berapa jenis hukum islam dalam agama islam?
Jenis hukum islam ada 5 yaitu : 1. Wajib, 2. Sunnah, 3. Makruh, 4. Mubah 5. Haram
Apa itu Sunnah Muakkad?
Sunnah Muakkad sebagai ibadah “setengah wajib” karena sifatnya yang sangat dianjurkan. Sunnah muakkad juga dimaknai sebagai ibadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya. Contoh seperti shalat tarawih atau shalat witir.
Apa yang dimaksud dengan Makruh Tahrim?
Makruh Tahrim yaitu tidak boleh mengerjakan sesuatu karena sudah ada larangan yang pasti secara syariat. Misalnya, jika Anda seorang laki-laki maka dilarang menggunakan perhiasan emas, memakai anting, dll.